Cinta
bukanlah hal yang gampang ditebak, tak bisa dicari, namun ditemukan layaknya
intan permata. Bahkan ketika membicarakan hal ini, tak banyak yang ketahui,
karena ini hanya dapat kurasakan. Jika aku mulai membicarakan tentang cinta
secara abstrak, seakan semua yang kulakukan terasa benar, seakan indah dunia
kurasakan tiap menit kulalui bersama orang yang ku cintai. Namun bagaimana jika
cinta itu terhalang? Bukankah terlalu muluk jika aku selalu membicarakan
tentang cinta? Yah, inilah hidup, tak pernah lepas dari kata itu, kita bertemu
seseorang, merasakan sesuatu yang berbeda di hati, berdebar, berkenalan,
merasakan adanya kecocokan, dan jatuh cinta. Itulah siklusnya. Tapi benarkah
semuanya bisa seindah itu? Tidakkah kita merasa bahwa banyak perbedaan mendasar
yang dapat meruntuhkan kata cinta? Agama, ras, suku, dan budaya. Takdir menyatakan bahwa, semua tak indah
sesuai harapan kita, tuhan memberikan kita kebebasan untuk memilih, tetapi
manusia membentuk suatu pembatas untuk membatasi kebebasan itu. Terlepas dari
bagaimana kita ingin memiliki seseorang, pentingkah jika orang yang kau cintai
berbeda pemahaman denganmu? Akankah itu menjadi penghalangmu?
Situasi inilah yang akan menjadi bibit
dari segala kegusaranmu. Menjadi andil dalam segalam pengambilan keputusanmu. Aku
sering mendengar bahwa cinta itu datang ketika kita lengah dan ketika waktu
yang bisa saja kita tidak harapkan, bahkan dengan orang yang sama sekali tidak
kita duga. Aku mengerti bahwa hidupku bukanlah cerita dongeng yang akan selalu
brakhir dengan indah, bahkan lebih banyak ku dapatkan kekecewaan didalam
hidupku. Ketika aku terjatuh dan tersakiti oleh cinta, aku menjadi kuat secara
fisik, hatiku menjadi keras namun lemah, seperti kaca, yang terlihat kokoh,
tetapi jika terusik sedikit dapat hancur dan pecah. Ingin ku rasakan indahnya
saat aku mencintai seseorang, tertawa bersamanya, memberikan pelukan semangat
padanya, dan senyuman hangat ketika ku butuhkan kenyamanan. Dan aku bertemu
denganmu, tentunya dengan segala tingkahmu yang menyebalkan. Kita bertemu saat
aku memasuki dunia perkuliahan. Kau seorang senior galak yang sangat
menyebalkan. Mungkin memang telah ditakdirkan kita harus bertemu, karena kita
satu jurusan dan kau adalah senior pendamping masa orientasi mahasiswaku. Kau
tidak terlalu tinggi, memiliki jenggot tipis didagumu dan rambut yang acak -
acakan. Bagiku kau sangat,sangat... tidak rapi, dengan baju kaos hijau dan
celana jeans robekmu, kau berdiri dihadapanku dan teman - temanku. Perangaimu membuatku malas bertemu denganmu, kau galak,
kata - katamu keras dan kasar, emosimu tak terkontrol, banyak bicara, dan
membuatku mengambil kesimpulan, bahwa kau sama sekali bukan kriteriaku. Cara
pandangmu, kata kasarmu, bau khasmu dari asap rokok yang amat ku benci. Aku tak
suka padamu.
"Nama saya Tio. Bila ada yang
menentang pengkaderan, silahkan berhadapan dengan saya",ujarmu dengan gaya
khas yang sangat menyebalkan. "Tunduk
tertindas atau bangkit melawan, karena mundur adalah pengkhianatan",
itulah kata - kata sakralmu.
Sangat menyebalkan jika mengingat
bagaimana tingkah menyebalkanmu, semua perkataanmu, cara berpakaianmu, asap
rokok yang berterbangan di udara dan membuat kapalaku pening. Bisakah ada orang
yang memberitahumu, bahwa tingkahmu itu menyebalkan? Bahwa kau tidak pernah mau
dikalahkan dalam tiap pembicaraan, itu membuatku berpikir untuk menaruh
gumpalan kapas kedalam mulutmu. Pikiranku
mulai menjelajah ketika kau hadir dengan sosok dirimu yang sesungguhnya hadir
dihadapanku. Begitu berbeda, dan membuatku nyaris terheran heran melihat
sikapmu yang begitu berbeda. Begitu lembut, hangat, dan bersahabat.
Aku dan kau menjalin semuanya dari
pertemanan, tak ada yang spesial, hanya teman bertukar pikiran. Dengan cepat,
aku dapat memahami bagaimana karaktermu dan begitu juga sebaliknya, ada satu
persamaan yang ku dapatkan, kita sama - sama keras kepala. Tapi itu tak menjadi
masalah, kita sering bertengkar tentang banyak hal, dan ketika selesai, kita
tertawa bersama, menertawai diri masing - masing. Dengan segala keegoisan dan kebodohan
yang bisa saja kami perbuat, Tio. Namamu bukanlah nama yang unik, namun semua
tingkahmu terlihat ganjil di mataku. Menarikku lebih dalam untuk lebih
mengenalmu, dan dengan bodohnya, kulakukan hal yang sama, aku menarikmu masuk
kedalam duniaku, dan aku semakin menarikmu lebih dalam. Kita semakin dekat,
semakin akrab, dan aku mengetahui bahwa kau bukanlah orang yang sepenuhnya
menyebalkan. Tanpa bisa ku hentikan, kedekatan kita membuat temanmu salah
presepsi dan mengacuhkanmu, hal ini membuatku tak enak hati.
"Bagaimana dengan temanmu?",
tanyaku
"Entahlah,aku juga tidak mengerti
sifatnya. Seperti anak kecil saja."ujarmu.
"Aku merasa bersalah."
"Kenapa kau yang mearasa
bersalah. Ayolah. Bagaimana jika kita makan saja sekarang? Perutku belum terisi
sejak siang."
Hingga ku sadari, inilah hal yang akan
menjadi masalah. Kau jatuh cinta padaku. Aku menyadari itu. Sorot matamu, gerak
tubuhmu, perhatianmu, dan semua kata - katamu. Tapi mengapa ada sesuatu yang
salah, dan aku membiarkanmu melanjutkan hal itu. Rutinitas yang kau sisipkan
didalam hari hariku membuatku sedikit nyaman jika berada didekatmu. Karena
setiap pembicaraan kita, tentang apapun, aku dapat tertawa lebar dan mendapat
kenyamanan darimu. Semakin lama, obrolan kita semakin intens. Kau mulai
menunjukan perhatianmu, dan aku dengan lugunya menyambut perhatianmu.
Sebenarnya, tak dapat ku pungkiri bahwa perhatianmu sedikit membuka celah dalam
hatiku. Namun, aku mengetahui bahwa kau mempunyai seseorang yang telah
bersamamu selama 4 tahun, dan sangat kau cintai. Maka aku membatasi diriku
untuk dapat menutup jalan aku menyukaimu. Walau aku tahu, kau telah
ditinggalkan dan kau telah tersakiti, namun dalam hatimu masih ada namanya dan
kau masih setia menunggunya kembali. Aku mengetahuinya. Malam itu kau sedang
bersamaku, menemaniku dengan setumpuk tugas penuh angka. Seperti biasa, kita
bicara, tertawa dan saling mengejek.
"Lia,"kau menatapku. Aku
tahu tatapan itu, dan aku membalasnya.
"Ya?".
"Apa aku menyukai
seseorang?"
"Entahlah. Mengapa tanya
padaku?"
Kau mendengus kesal. "Tebak saja."
"Mmm. Mungkin saja. Kenapa?"
"Kau tahu siapa orangnya?".
Aku tertawa, bukan karena hal ini
lucu. Tapi aku menertawai diriku yang telah mengetahui jawabannya namun tetap
menjawab tiap pertanyaanmu. Namun aku berbohong.
"Mana ku tahu. Kau kira aku
dukun,"jawabku
Kau terdiam. Sekilas ku lihat kau
menyeringai, lalu kembali menatapku.
"Ada orang yang kau suka?"
"Bukan urusanmu."kataku
singkat
"Yah memang bukan urusanku.
Memang sudah sifat manusia untuk
selalu membuat rahasia didalam hidupnya. Bukanlah manusia jika ia sering
membohongi diri sendiri dan orang lain, hanya untuk menghindari dirinya dan
orang - orang disekitarnya dengan masalah. Sama sepertiku, aku manusia, dan aku
memiliki banyak rahasia yang tak ingin seseorang mengetahuinya, bahkan jika aku
harus membayar untuk mengetahui bagaimana cara untuk bisa mengungkapkan
perasaan saat itu. Seakan ada peperangan didalam diri yang bergejolak, hingga
perutku terasa mual, kepalaku pening dan panas menjalari seluruh tubuhku untuk
bisa berbicara jujur terhadap semua perasaan ini.